Minggu, 06 Desember 2009

Pulau Tarakan sebagai Ladang Minyak dan Ladang Perang

Januari 1942.
Pemandangan di salah satu lokasi tambang yang dibumihanguskan sendiri oleh Belanda sebelum mereka bertempur dengan Jepang

Motivasi untuk menguasai sumber daya alam di suatu negara atau kawasan lain adalah salah satu penyebab terjadinya perang. Irak yang belum pulih hingga saat ini, adalah salah satu negara yang menjadi korban dari perang yang dirancang AS dengan motivasi terselubung untuk menguasai sumber minyak yang ada di sana.

Sejarah mencatat, perang yang terjadi akibat motivasi seperti ini bukan terjadi dalam era-era sekarang saja. Pada masa Perang Dunia II, Tarakan pun yang sesungguhnya hanyalah sebuah titik kecil dalam Peta Dunia, sempat dua kali dijadikan ladang saling bantai antara aktor besar yang terlibat dalam perang pada masa itu yakni : Jepang, Sekutu (Australia, Belanda dan Amerika Serikat). Dua kali pertempuran besar terjadi di Tarakan. Pertama, antara tentara Jepang melawan pasukan Belanda, kedua yang kemudian dikenal dengan Battle of Tarakan (Perang Tarakan) adalah perang besar antara pasukan Sekutu (pasukan Australia yang dibantu oleh Amerika Serikat dan Belanda) melawan Jepang. Dua perang ini terjadi tak luput dari fakta bahwa Tarakan adalah ladang minyak selain secara geografis letaknya sangat strategis sehingga penting artinya sebagai sumber daya pendukung dalam perang.

Penemuan Minyak di Tarakan
Pada tahun 1896, BPM (Bataavishe Petroleum Maatchapij) menemukan sumber minyak di Pulau Tarakan. Tahun-tahun selanjutnya, dimulailah upaya penambangan minyak di Tarakan oleh perusahaan milik Pemerintah Kolonial Belanda ini. Seiring dengan semakin aktifnya usaha pengeboran, ratusan pekerja didatangkan dari Pulau Jawa.
Fakta inilah pula yang menjadi awal kedatangan Suku Jawa di Pulau Tarakan.
Karena pentingnya keberadaan Pulau ini, pada tahun 1923 Belanda menempatkan seorang Asisten Residen di Tarakan yang membawahi lima wilayah yakni Tarakan, Tanjung Selor, Berau, Malinau dan Apo Kayan. Dalam waktu singkat, Tarakan menjadi pusat produksi minyak dengan dua sumur yang mampu memproduksi 80.000 barel minyak perbulan pada 1941.

Belanda melalui BPM termasuk kenyang menikmati keuntungan dengan perolehan minyak dari perut bumi Tarakan. Minyak mentah dari Tarakan yang termasuk dalam minyak kualitas nomor satu dunia langsung dikapalkan ke Amsterdam dengan menggunakan kapal laut. Salah satu kapal pengangkut yang terkenal adalah kapal Prins van Orange.
Cerita manis ini berakhir setelah Jepang sebagai negara Asia yang sangat agresif secara militer pada masa itu menargetkan Tarakan sebagai pintu masuk dalam upayanya mencari sumber energi baru di Hindia Belanda.(Sumber:http://anakpagun.blogspot.com/)
Diposkan oleh ABUTMUSOY di 14:40


-----


31 Mei 1945.
Enam pesawat terbang Liberator dari RAAF (Royal Australian Airforce) membantu Batalion Infanteri 2/23RD, dalam mengebom posisi-posisi tentara Jepang

Pendudukan Jepang di Tarakan
Sebagai sebuah negara industri baru di kawasan Asia, Jepang sangat membutuhkan sumber energi baru. Pilihan yang paling rasional adalah mencari sumber energi ke kawasan Asia terdekat yang kala itu sudah dikuasai terlebih dahulu oleh negara-negara Eropa (Inggris dan Belanda).

Untuk invasi ke kawasan Hindia Belanda, Pulau Tarakan dijadikan sebagai pintu masuk. Dipilihnya Tarakan selain karena kaya minyak dan kualitas minyaknya masuk dalam kategori kualitas nomor satu, karena juga secara geopolitik pulau ini sangat strategis karena menghubungkan jalur laut ke Australia, Filipina, dan Timur Jauh.
Jepang menginvasi Tarakan pada 11 Januari 1942 dan melakukan serangan udara pada posisi pertahanan Belanda. Pecahlah kemudian perang tidak seimbang antara dua kekuatan di Tarakan pada masa itu. Belanda hanya bermodalkan 1.300 serdadu Batalion VII KNIL, beserta pegawai perusahaan minyak BPM yang dilibatkan sebagai milisi bantuan, segelintir kapal perang ringan, pesawat tempur dan bomber berhadapan dengan sekitar 20.000 serdadu Jepang yang dimotori Pasukan Kure, pasukan elite angkatan laut Jepang yang mendarat di Pantai Amal dalam dua kelompok dengan dukungan pesawat tempur dan kapal perang lengkap.

Dalam invasi awal itu, Jepang berhasil menang dalam dua hari pertempuran dimana separuh dari pasukan Belanda tewas. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel De Waal menyerah pada pasukan Jepang yang dipimpin oleh Jenderal Sakaguchi.
Beberapa hari sebelum menguasai Tarakan, Jepang terlebih dahulu telah menguasai Manila, Sabah, dan Brunei. Dengan dikuasainya Tarakan, maka pulau ini dapat digunakan sebagai pintu masuk untuk pendudukan lanjutan ke sumber minyak lainnya yakni di Balikpapan, Pangkalan Brandan di Sumatera Utara, Palembang di Sumatera Selatan, dan Cepu di Jawa Tengah.

Meskipun pasukan Belanda sempat membumihanguskan ladang minyak sebelum mereka menyerah, Jepang justru mampu mengembalikan bahkan meningkatkan produktifitas ladang minyak Tarakan hingga 350.000 barel per bulan hingga awal tahun 1944.
Setelah Belanda menyerah, sekitar 5.000 penduduk Tarakan menderita di bawah kebijakan-kebijakan represif pendudukan Jepang. Karena banyaknya jumlah pasukan Jepang yang menduduki pulau Tarakan, dampaknya kemudian adalah pengambilan paksa bahan pakan milik penduduk dan menyebabkan banyak warga sipil mengalami kekurangan gizi. Pada masa ini, banyak juga penduduk Tarakan yang kemudian berpindah ke wilayah Tawau, Sabah sehingga masa ini dikenal dengan masa yang disebut masyarakat Tidung sebagai jamon vekuasi (zaman evakuasi).

Tercatat, selama masa pendudukannya, Jepang juga mendatangkan sekitar 600 buruh pekerja dari Pulau Jawa ke Pulau Tarakan untuk bekerja di ladang minyak. Penguasaan Jepang atas Pulau Tarakan tidak berlangsung lama. Semakin menguatnya kekuatan sekutu dan dengan kekuatan pasukannya jauh lebih besar membuat Jepang tidak lagi mampu bertahan di Tarakan.

Rencana Pihak Sekutu
Sesuai dengan Perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara Sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Lord Mountbatten sebagai Komandan Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara adalah orang yang diserahi tanggungjawab kekuasaan atas Sumatera dan Jawa. Sedangkan Tentara Australia diberi tanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.Maka rencana perebutan Tarakan oleh Sekutu yang berintikan Tentara Australia sebagai penanggung jawab wilayah Kalimantan adalah sebuah rencana besar yang akan menguntungkan Belanda, karena jika berhasil direbut, maka Tarakan yang kaya minyak akan kembali menjadi milik mereka sesuai dengan Perjanjian Wina tadi.

Dalam rencana pra-invasi dipastikan bahwa sebuah pesawat tempur akan ditempatkan di Tarakan enam hari setelah pendaratan dan kekuatan ini akan diperbanyak untuk mendukung serangan udara sembilan hari kemudian dan memperkuat fasilitas serangan dengan tambahan empat skuadron pesawat tempur dalam 21 hari pendaratan.

Meski tujuan utama dari serangan Sekutu di Tarakan (operasi "Oboe One") adalah untuk mengamankan dan membangun landasan udara agar bisa digunakan sebagai tempat titik tolak menuju kawasan lain seperti Brunei, Labuan (Malaysia), dan Balikpapan, motivasi untuk mengamankan ladang minyak Tarakan sebagai sumber minyak bagi kekuatan Sekutu di medan perang tidak bisa dinafikan sebagi alasan penting lainnya. (Sumber : http://anakpagun.blogspot.com/)

____
Pulau Tarakan sebagai Ladang Minyak dan Ladang Perang (3 -habis)

Mei 1945. Tampak tentara Sekutu yang rehat sebentar di sela-sela pertempuran melawan tentara Jepang

Perlawanan Warga Tarakan

Pada kenyataannya, tidak semua tentara Jepang yang berhasil selamat dalam pertempuran, menyerahkan diri begitu saja pada Sekutu. Ada juga yang bersembunyi di hutan dan ada pula yang berusaha melarikan diri lewat laut.

Meski tidak tercatat dalam sejarah, ada beberapa cerita mengenai penangkapan dan perlawanan terhadap pelarian perang dari pihak Jepang oleh warga yang mendiami Pulau Tarakan pada masa-masa awal. Di kawasan Desa Mamburungan, diceritakan warga berhasil menangkap seorang tentara Jepang yang bersembunyi di hutan Mamburungan. Pada waktu itu, menurut cerita yang tersebar warga terbagi menjadi dua. Ada yang berpendapat sebaiknya tentara Jepang itu diserahkan saja pada Sekutu, ada pula yang berpendapat bahwa sebaiknya ia dibunuh saja. Mungkin dikarenakan lebih banyak warga yang menyimpan dendam karena bahan pangan mereka sering diminta paksa, tentara Jepang ini akhirnya tewas di tangan massa.

Ada juga cerita perlawanan terhadap dua serdadu Jepang yang dialami oleh Kakek penulis sendiri. Pada masa itu, Kakek penulis bersama tiga orang saudaranya beserta Ayah mereka (Buyut penulis) sedang mencari kerang di sekitar tepi laut di Tanah Merah (sekitar KTT). Tanpa di sangka-sangka datang mendekati mereka, dua serdadu Jepang berpistol dengan menaiki sebuah rakit darurat. Segera saja Buyut dan anak-anaknya menghentikan aktifitas mereka.

Tanpa basa basi, dua serdadu Jepang ini langsung mengacak-acak seisi perahu yang tengah sandar di pinggir laut. Tanpa merasa bersalah mereka berdua mengambil begitu saja singkong mentah yang belum direbus dari perahu dan memakannya. Mungkin dua serdadu ini mengalami kelaparan hebat, belum makan beberapa hari. Sehabis memakan singkong mentah, mereka berdua menghampiri Buyut dan anak-anaknya sambil mengancamkan pistol. Dari bahasa isyarat, mereka meminta diantarkan ke Berau atau Balikpapan dengan menggunakan perahu milik Buyut.

Melihat gelagat yang tidak baik dan permintaan yang tidak masuk akal itu, Buyut penulis berbisik pada anak-anaknya untuk bersiap-siap melawan dua serdadu bersenjata itu. Dengan teriakan “Allahu Akbar” Buyut langsung mendorong salah satu serdadu hingga ia terjatuh dan bergumullah ia dengan Buyut di lumpur laut. Dengan gerak cepat Kakek dan salah satu saudaranya menyerang salah satu serdadu lain dengan menggunakan parang dan dayung, sementara itu, dua saudaranya yang lain lagi membantu Buyut melumpuhkan serdadu yang sudah tersungkur terlebih dahulu tadi. Kakek dan saudaranya berhasil membunuh salah satu serdadu. Bunyut beserta dua anaknya masih bergumul dengan serdadu satunya lagi. Malangnya, pistol yang belum berhasil direbut dari tangan serdadu yang satu ini meletus dan menembus kepala Buyut dan peluru itu bersarang di sana. Buyut pun terkulai lemah. Melihat Ayah mereka terkena tembakan, sebagian berusaha menyelamatkannya dan sebagian lagi secara membabi buta menyerang serdadu penembak itu hingga tewas.

Tanpa membuang waktu, Kakek dan saudara-saudaranya langsung membawa pulang Buyut. Sesampainya di Tarakan, Buyut masih bernafas. Namun dalam hitungan beberapa jam kemudian, setelah semua anggota keluarga berkumpul mengelilinginya, Buyut pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Meskipun cerita ini hanya berkembang di kalangan masyarakat dan keluarga dan tidak tercatat dalam buku sejarah, layaklah ia dikenang sebagai peristiwa yang patut menjadi catatan tersendiri dalam lembar sejarah ingatan bahwa warga Tarakan juga pernah melakukan perlawanan terhadap penjajah Jepang, meski dalam skala kecil.

Berakhirnya Perang dan Pendudukan
Meskipun tentara Jepang sudah kalah, meskipun kemudian kemerdekaan Republik Indonesia sudah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, ternyata pasukan terakhir Australia, Brigade ke-26 (pasukan pendudukan) masih bertahan di Tarakan hingga 27 Desember 1945. Markas Brigade ini akhirnya dikembalikan ke Australia pada awal 1946 dan secara resmi dibubarkan di Brisbane pada bulan Januari 1946 dan tinggallah Pulau Tarakan, ladang minyak yang telah berhasil mereka gunakan sebagai ladang perang itu. (Sumber : http://anakpagun.blogspot.com/)

__________


Mengkapling-kapling Sumur Minyak (kota tarakan)

Surat Penunjukan Lokasi yang dikeluarkan Walikota Tarakan menyalahi Peraturan Keselamatan Kerja Tambang. Akibatnya, beberapa bangunan didirikan di atas sumur minyak. Suatu tindakan yang merugikan.

Minj Politie Reglement” (MPR) atau yang lebih dikenal dengan “Peraturan Kepolisian Pertambangan”, sudah lama diterbitkan. “Peraturan Keselamatan Kerja Tambang” yang dituangkan dalam Lembaran Negara - Nomor 341 Tahun 1930 itu sampai saat ini belum pernah dicabut. Tetapi, di Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Pertamina Tarakan, Kalimantan Timur atau tepatnya di atas sumur-sumur minyak, banyak bangunan berdiri atas ijin yang diberikan oleh Pemerintah Kota Tarakan.

Ambillah contoh - proyek pembangunan gedung dan rumah Dinas Pengadilan Agama RI di Kelurahan Kampung Empat Tarakan Timur yang sekarang sedang dikerjakan, terdapat beberapa sumur minyak. Rupanya, Walikota Tarakan, yang saat itu dijabat dr H Jusuf Serang Kasim, secara diam-diam atau tanpa pemberitahuan kepada pihak Pertamina, menerbitkan Surat Penetapan Lokasi (SPL) Nomor 590/020/Pem-IX/2007 tanggal 25 September 2007 kepada Mahkamah Agung RI di Jakarta.

Padahal, seperti diketahui, di atas lahan seluas 3.420 M2 pada lokasi dimaksud, terdapat beberapa sumur minyak yang masih produktif. “Sehingga, jika pembangunan kantor dan rumah itu tetap dilakukan, akan memiliki risiko tinggi bagi keselamatan masyarakat dan operasi perusahaan,” tulis Pjs Field Manager Pertamina EP UBEP Tarakan, Maksum Solihin, 15 April 2009, menjawab surat konfirmasi lahan yang dimintakan Pengadilan Agama Tarakan, sebelum memulai pembangunan, 6 April 2009 lalu.

Anehnya, di Area III Pamusian di Jalan Sei Sesayap RT 8 Kelurahan Kampung Empat Tarakan Timur, yang diberikan Walikota Tarakan kepada Mahkamah Agung RI mestinya patut ditolak demi Peraturan Keselamatan Kerja Tambang. Sebab, di lokasi tersebut terdapat beberapa sumur-sumur minyak dan gas yang masih aktif dan produktif. “Jadi, jika Mahkamah Agung sendiri tidak mengindahkan peraturan, apa jadinya Indonesia ini,” komentar seorang penduduk Mamburungan yang sudah lama bermukim di Tawau Sabah Malaysia Timur.

Memang, dalam menangani pengkapling-kaplingan tanah di lokasi sumur minyak yang selama ini dikelola oleh PT Medco menghadapi kesulitan. Semua kasus atau yang disebut gangguan operasional yang dilakukan masyarakat tidak pernah mendapat respon dari Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan.

Contoh ketidakpedulian Pemkot Tarakan itu dibeberkan sejumlah pihak. “Kita melarang pembangunan Kampus Akademi Perawat dan Kantor Departemen Agama yang dibangun di Area I Pamusian di daerah Kampung Satu-Skip Tarakan Tengah. Ternyata kedua bangunan itu sudah memiliki Surat Penunjukan Lokasi yang diterbitkan Jusuf SK sebagai Walikota Tarakan,” beber mantan Humas PT Medco E&P Tarakan, kepada S Leonard Pohan dari Berita Indonesia.

Tapi, itu masa lalu. Selama 30 tahun pengelolaan minyak di bumi “Paguntaka” ditangani perusahaan minyak swasta. Tentu, akan berbeda dengan Pertamina yang sejak 15 Oktober 2008 lalu mengelola Tarakan dan Sanga-sanga, Kutai Kartanegara. Tidak kurang dari 1.200 sumur-sumur tua hasil pengeboran sejak seratus tahun lalu di pulau seluas 250,80 Km2 ini. Sebelumnya, pola yang dilakukan di Tarakan menggunakan Hydrolic Pumping Unit (HPU) dan Pumping Unit (PU). “Kita sekarang menggunakan ESP (Electrical Sumarsible Pump) sangat cocok untuk perkotaan,” kata Wiko Migantoro, Field Manager Pertamina Unit Bisnis Eksplorasi dan Produksi (UBEP) Tarakan, didampingi Ka Humas, Ernest Winokan. Alat ini kemampuannya lebih akurat atau gras tinggi, hemat listrik, dan relatif lebih aman di permukaan tanah. Itu sebab, alat ini sangat tepat digunakan di Tarakan sebagai kota.

Operasional tambang minyak yang berada dalam kota, harus bersahabat. Persahabatan itu menurut General Manager Pertamina UBEP Sanga-sanga, Tarakan, Satoto Agustono sangat penting. Itu sebab Pertamina lebih banyak lakukan silaturahmi dengan Pemkot. “Program harus kita selaraskan dengan Pemerintah, dengan demikian kita satu visi. Dan, kalau sudah satu visi, apapun bisa kita jalani,” kata Satoto Agustono, di tengah-tengah kesibukannya melakukan safari Ramadhan, puasa lalu.

Satoto Agustono melihat, pengkapling-kaplingan lokasi sumur-sumur minyak yang dilakukan masyarakat menjadi pemukiman, bukan sebagai halangan. “Semua ada aturan, dan kalau aturan itu diikuti tidak ada yang terganggu, malah akan diselamatkan,” katanya politis memberi contoh kalau ada masyarakat bangun rumah dekat sumur, akan diberi tahu, diberi arahan, sehingga kedua belah pihak terselamatkan.

Minyak adalah sumber energi di bawah bumi yang kita tidak tahu kapan dia keluar banyak. “Kita tidak dapat memprediksi, karena ini adalah berkat Allah SWT. Hasil minyak bukan untuk kami, tetapi untuk negara dan bangsa ini. Inilah yang harus kita jaga untuk tidak saling merugikan. Ada aturan di MPR berapa jarak mendirikan bangunan,” kata Satoto Agustono yang punya prinsip, jangan saling merugikan dan menyakitkan. Perlu keterbukaan, maunya apa - ada aturannya. Kalau kita maunya sendiri, itu yang repot. SLP (Berita Indonesia 71)

Tidak ada komentar: