Rabu, 09 Desember 2009

Bisnis Gas Perlu di Gas

Tahun 2000 sempat terwacanakan, organisasi bisnis Pertamina dibagi tiga besar : hulu - hilir - gas. Berbagai wacana format organisasi yang muncul kemudian tetap menempatkan bisnis gas sebagai bisnis penting masa depan. Gas adalah lahan bisnis prospektif ketika minyak bumi semakin kerontang cadangannya. Dengan begitu banyaknya tantangan dan peluang, bisnis gas memang perlu digas lebih kencang. Bagaimana dengan langkah Pertagas? Kita lihat, kita tunggu, kita gas!

Bisnis transportasi gas siap dijalankan Pertagas. Juga niaga gas dannprocessing gas menjadi bidang bisnis lain perusahaan baru ini. Ke depannya, Pertagas akan menjalankan bisnis distribusi gas skala makro, mengoperasikan LNG Receiving Terminal dan Power Plant. Anak perusahaan sektor hulu yang baru berdiri 23 Februari 2007 itu jelas terbilang "anak kemarin sore." Tapi kalau ditanya pengalaman sudah 30 tahun! Kok, bisa?

Pertagas adalah penjelmaan lebih lanjut dari Divisi Gas Direktorat Hulu Pertamina. Jadi, kalau ditanya engalaman mengoperasikan transportasi gas dari sumber gas di Pertamina EP, Pertamina Hulu Energi, dan Pertamina EP Cepu hingga gas itu masuk ke pabrik- pabrik atau industri pelanggan Pertamina, maka orang-orang Pertagas boleh dibilang sudah berpengalaman. Tetapi kalau dalam skala bisnis, bagaimana mengelola transportasi gas dengan profesionalisme bisnis, Pertagas tetap terbilang baru. STRATEGIS & SEGUDANG "PR" Mendirikan Pertagas adalah langkah strategis yang ditempuh Pertamina. Bayangkan, transportasi gas yang selama ini tidak bisa sepenuhnya mengambil keuntungan, bisa total berbisnis setelah dikelola perusahaan yang khusus bergerak di hilir.

Ketika ditangani Pertamina EP, anak perusahaan hulu yang satu ini tidak bisa mengamil keuntungan saat jalur pipa Pertamina dipakai perusahaan lain. Sebatas bayar biaya saja, tidak ada margin. Karena Pertamina EP sebagai perusahaan di hulu - merujuk UU No. 22 Tahun 2001 - tidak boleh bergiat komersial di hilir. Sedangkan kegiatan transportasi gas nyata-nyata sebagai bagian dari kegiatan bisnis hilir.

Oleh karenanya, Pertamina mendirikan perusahaan khusus hilir dalam mengelola transportasi gas bernama Pertagas, maka berdasarkan UU Migas hak berbisnis pun diperoleh. Tetapi langkah itu belum tuntas. Aset yang dioperasikan Pertagas masih berstatus milik PT Pertamina (Persero). Akibatnya, Pertagas tidak bisa memasukkan transaksi yang ada ke dalam pembukuannya sendiri. "Penghasilan Pertagas saat ini boleh dibilang nol. Sementara pengeluaran terus berjalan," jelas Dirut Pertagas Dadang Subiantara.

Masalah status aset adalah salah satu permasalahan yang langsung dihadapi Pertagas begitu perusahaan ini didirikan awal tahun lalu. Diakui oleh Direksi Pertagas, selama 30 tahun usia jaringan pipa, langkah pemeliharaan tidaklah maksimal, karena saat itu dianggap bukan sebagai prioritas. Dalam skala bisnis sekarang di bawah Pertagas, trasportasi gas tak sebatas "asal gas mengalir selamat sampai tujuan." Tidak sebatas itu.

Kapasitas pipa gas, kualitas aliran, dan pengelolaan infrastruktur strategis itu dari hari ke hari, semua harus lebih dicermati dan profesional. Bahkan bagaimana perusahaan memenangkan setiap tender proyek pembangunan jaringan pipa yang digelar BPH Migas, lewat Pertagas ini Pertamina akan lebih fokus. Pengembangan bisnis yang mengandalkan bentangan jaringan pipa ini juga mesti dipikirkan dan dilakukan. Direktur Utama Pertagas Dadang Subiantara memang bilang perusahaan sejenis seperti Perusahaan Gas Negara (PGN) bukan sebagai pesaing, melainkan sebagai mitra yang harus berjalan sinergi dengan Pertagas. Tetapi Dadang dan kawankawan tetap tak boleh melupakan bahwa bagaimana Pertagas bisa memenangkan tender pembangunan jaringan pipa yang digelar BPH Migas, misalnya, dan karenanya bersaing dengan PGN, Rekayasa Industri, atau grup Bakrie, maka di situlah Pertagas harus memiliki daya saing.

"Lengkaplah persoalan Pertagas," cetus Gusti Azis Azis, Direktur Operasi Pertagas dalam perbicangan dengan WeP eP ePe dalam kesempatan berbeda. Dalam wawancara Senin, 14 Januari 2008 lalu, Gusti Azis menjelaskan sejumlah persoalan yang harus segera diselesaikan Pertagas. Salah satu di antaranya adalah kebelumpastian status aset yang sekarang dioperasikan Pertagas.

Lalu masalah kekurangan jumlah SDM yang berkompetensi, sehingga Pertagas sampai memperpanjang masa kerja beberapa ahli pipanya yang sudah masuk masa pensiun. Mengenai usia uzur jaringan pipa Gusti Azis sebagai Direktur Operasi, paling mengkhawatirkan kondisi pipa terakhir ini. Selain sepuh dimakan usia, di atas sepanjang jalur pipa itu tumbuh bangunan-bangunan penduduk. Di sini sebagaimana diakui oleh Sekretaris Perusahaan Rony ony Gunawan kepada WePe Kamis (17/1) masalah sertifikat tanah di mana jaringan pipa dibenamkan termasuk yang harus segera ditertibkan. "Bagaimana kalau sertifikat tanah Pertamina sulit ditunjukkan, sementara penduduk sudah memiliki sertifikat, secara hukum Pertamina bisa kalah," katanya serius.

Dari hasil mapping yang dilakukan Pertagas belum lama ini, terhitung aset yang siap diurus Pertagas tak kurang tak lebih sebesar Rp 4,5 triliun. Gas yang mengalir yang harus diurus sekitar 1.300 juta kaki kubik per hari atau senilai 4 juta dolar setiap harinya.

"Kita hanya bisa berdoa semoga jaringan pipa kita tidak terjadi apa-apa," bisik Gusti Azis.


PEMELIHARAAN PENTING & PERLU

Gusti Azis pantas khawatir. Kasus ledakan pipa gas bukan cerita baru. Ketika WeP e menjelajahi website, berita-berita mengenai peristiwa ledakan pipa gas ternyata sangat banyak. Terutama di Rusia yang katanya jago di bidang pipa gas.

Biar bisa menyelami rasa khawatir temanteman di Pertagas, boleh disimak beberapa contoh berita yang mewartakan insiden di tempat dan waktu berbeda.

Belum lama ini http://www. mediaindo.co.id memberitakan sebuah ledakan di Ukraina yang menghentikan layanan salah satu jaringan pipa utama untuk mengeskspor gas alam Rusia ke Uni eropa (UE). Berita itu disampaikan televisi Vesti Rusia. Ledakan tersebut diberitakan memutuskan jaringan pipa yang mengalirkan gas Siberia melalui Ukraina ke Jerman dan konsumen UE lainnya. Terpaksa operator menghentikan sementara aliran di jalur itu. Jalur pipa itu sebelumnya mengalami kecelakaan serupa pada awal tahun 2007, ketika sebuah ledakan merobek sebagian pipa dan membutuhkan waktu 10 hari untuk memperbaiki kerusakaan itu.

Berita lain lagi, terjadi ledakan dan kebakaran melanda pipa saluran utama gas di bagian barat daya Rusia. Juga dikabarkan ledakan di jalur gas yang menyuplai negeri tetangga Rusia, Georgia. Tak hanya Georgia yang terkena dampak, aliran gas ke Armenia pun putus.

Mengenai kasus di Georgia, Presiden Georgia Mikhail Saakasvili - seperti diberitakan Metronews.com, menengarai ada sabotase di balik peristiwa itu. Wallahu a'lam. Ada lagi berita dari VoaNews.com perusahaan gas negara (lagi-lagi) Rusia, Gazprom, sempat menghentikan suplai gas ke Ukraina karena negeri itu konon menolak untuk menerima tuntutan Rusia untuk meningkatan harga empat kali lipat. Tindakan itu menyebabkan kekurangan gas di Eropa yang memang sangat tergantung pada gas Rusia. Website Suara Merdeka juga sempat memberitakan kabar dari New York. Disebutkan, pipa gas di bawah tanah kawasan Manhattan, New York, meledak. Ledakan pipa tua berusia 83 tahun itu mengeluarkan suara menggelegar, disusul dengan semburan uap dan lumpur serta gedung-gedung bergetar.

Atau berita di negeri kita. Buntut dari semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas, pipa Pertamina sempat meledak. Pergerakan tanah terus membuat posisi pipa tertekan ke arah jalan tol. Karena pipa tidak didesain untuk lentur melengkung menahan tekanan, pipa itu akhirnya pecah dan menimbulkan ledakan dahsyat disertai semburan api.

Saat itu Kepala Divisi Hupmas Toharso membantah kalau insiden itu sebagai akibat kelalaian Pertamina. Pertamina jauh-jauh hari meminta Timnas penanggulangan kasus lumpur lapindo untuk memindahkan pipa tersebut karena membahayakan. "Memang milik Pertamina, tapi itu sudah bukan masalah Pertamina lagi," katanya waktu itu.

Pertagas sebagai perusahaan yang mengurusi transportasi gas, memang dituntut untuk selalu mewaspadai kejadian-kejadian seperti itu. Kuncinya adalah pemeliharaan yang berkala dan maksimal.
GAS ADALAH PILIHAN

Memanfaatkan gas alam atau gas bumi pada saat ini dan beberapa puluh tahun ke depan adalah solusi strategis. Cadangan gas alam Indonesia nomor delapan di dunia. Hanya Rusia, AS, Timur Tengah, dan Venezuela yang mengalahkan kekayaan gas Indonesia.

Tahun 2003 Pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Intinya, menghapus ketergantungan konsumsi energi bangsa kita dari minyak bumi ke energi alternatif. Banyak jenis energi yang disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006. Jadi, Perpres itu semangatnya adalah mengatur bagaimana peranan masing-masing jenis energi terhadap konsumsi energi nasional. Minyak bumi hendak digantikan secara perlahan hingga tahun 2025. Konsumsi minyak bumi, misalnya, pada tahun itu hanya cukup berperan sebesar 20 persen saja. Padahal sekarang, minyak bumi sangat dominan.

Kondisi ketergantungan pada minyak bumi tak bisa dibiarkan terus-terusan, karena peningkatan konsumsi energi jenis ini sangat mencengangkan. Bayangkan, tahun 1970 konsumsi energi primer hanya sebesar 50 juta SBM (Setara Barel Minyak). Tahun 2001 kebutuhan itu sudah menembus angka 715 SBM, pertumbuhan 1.330 persen! Ke depannya?

Kalau tidak dibendung, banyak yang memprediksi bisa-bisa Indonesia sepenuhnya mengimpor BBM atau crude untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Karena ada trend menurunnya tingkat produksi minyak mentah di satu sisi dan semakin meroketnya tingkat konsumsi. Gas bumi menurut KEN harus berperan hingga 30 persen dari keseluruhan kebutuhan energi nasional. Selain gas bumi, batu bara lebih besar lagi, 33 persen! Sementara biofuel dan panasbumi masing-masing diberi peran konsumsi 5 persen. Termasuk juga energi baru dan terbarukan lain juga 5 persen. Persentase ini untuk biomasa, nuklir, tenaga air skala kecil, tenaga surya, dan tenaga angin.

Sementara bahan bakar lain yang berasal dari pencairan batu bara menjadi lebih dari 2 persen. Fakta sekarang, banyak kalangan yang mulai beralih dari BBM ke jenis energi lain. Kalangan industri pun sekarang sudah mulai beralih sedikit demi sedikit meninggalkan BBM sebagai bahan bakarnya. Contoh PLN semakin mengurangi konsumsi BBM-nya. Gas alam atau batubara memang menjadi pilihan utama.

Pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang menggunakan solar, harga listrik mencapai Rp 500 per KWh. Sementara menggunakan batubara biayanya hanya sekitar Rp 50 per KWh. Konsumsi LPG dan gas bumi atau gas alam di sektor industri selama 1990 - 2000 saja, misalnya, mengalami peningkatan yang cukup besar. Rata-rata pertumbuhan pemakaian LPG dan gas alam masing-masing 11,8 persen dan 4,7 persen per tahun dalam periode tersebut.

Konsumen gas alam di dalam negeri terdiri atas kalangan rumah tangga yang memakai LPG atau gas kota yang dialirkan melalui jaringan pipa, kendaraan bermotor dengan BBG, dan industri dengan gelontoran gas melalui pipa. Jangan bandingkan tingkat kecepatan pertumbuhan konsumsi gas alam dengan energi minyak bumi. Tetapi pelan-pelan banyak kalangan yang beralih ke batubara dan gas alam.

Terlepas dari begitu lambatnya pertumbuhan pemakaian gas alam dalam peta konsumsi energi di Indonesia, sejumlah industri lebih sudi memakai gas alam ketimbang minyak bumi. Paling tidak, Pertamina sendiri memiliki tak kurang dari 60 pelanggan pabrik-pabrik yang mengonsumsi gas alam hingga 1.300 juta kaki kubik per hari. Atau senilai 4 juta dolar AS per hari. Pada posisi ini Pertagas kita harapkan: baik sebagai transporter maupun sebagai trader.
PERTAGAS DI PETA INDONESIA

Pertagas membulatkan tekad menjadi perusahaan gas terintegrasi kelas dunia tahun 2014. Ada tiga tahap sebelum mencapai itu. Tahun 2008 target Pertagas adalah menjadi perusahaan gas terpandang dan menguntungkan. Tahun 2011 Pertagas harus muncul sebagai perusahaan gas regional papan atas. Dan pada tahun 2014 itulah target teratas sebagai pemain bisnis gas kelas dunia harus tercapai. Menelurusi bisnis gas alam tidak lepas dari kategori pemanfaatan gas alam itu sendiri.

Gas alam banyak dipakai sebagai bahan bakar, antara lain sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga gas/uap; bahan bakar industri ringan, menengah, dan berat. Juga untuk transportasi dalam bentuk BBG atau NGV. Masih sebagai bahan bakar, gas alam sebagai gas kota diperlukan untuk kebutuhan rumah tangga hotel, restoran, dan sebagainya. Pemanfaatan kedua, gas alam sebagai bahan baku, antara lain bahan baku pabrik pupuk, petrokimia, metanol, dan bahan plastik. C3 dan C4-nya gas alam dipakai untuk produksi LPG. Lalu CO2-nya untuk soft drink, dry ice, pengawet makanan, hujan buatan, industri besi tuang, pengelasan dan pemadam api ringan.

Pemanfaatan gas ketiga, gas alam sebagai komoditas energi untuk ekspor, yaitu LNG. Dari ketiga cara pemanfaatan itu Pertamina sebagian besar sudah menggarapnya, walaupun tidak ditangani satu fungsi atau anak perusahaan saja. Untuk pemanfaatan jenis pemakaian gas alam sebagai bahan bakar, Pertagas masuk ke pengelolaan Power Plant dan menyuplai kebutuhan bahan bakar gas oleh kalangan industri. Untuk kebutuhan transportasi, yaitu BBG, konsentrasi Pertamina memang harus lebih ditingkatkan lagi pada masa yang akan datang.

Walaupun permasalahan bisnis BBG terbentur berbagai kendala yang menyebabkan bisnis komoditas ini tersendat-sendat. Iklim eksternal, misalnya, belum terlalu kondusif untuk berkembangnya bisnis BBG. Gas kota kini identik dengan bisnis inti PGN. Pertagas sendiri sebagai transporter, sejak awal, menyatakan tidak akan terjun di bisnis gas kota.Ceruk pasarnya belum terlalu besar dibandingkan dengan mahalnya membangun infrastuktur jaringan gas ke wilayah perkotaan.

Pemanfaatan gas alam sebagai bahan baku, sebagian sudah dilakukan oleh beberapa Unit Pengolahan. Bidang ini Pertamina cukup agresif, karena bisnis produk-produk petrokimia adalah lahan bisnis yang lebih cerah. Untuk jenis pemanfaatan gas alam untuk bahan baku Pertagas tertarik juga. Itulah bidang usaha ketiga Pertagas dalam processing gas, yaitu mengekstrak gas alam menjadi LPG dan produk-produk turunan lain dari gas alam. Tetapi Pertagas tidak berniat menjadi penjual LPG. "Sisi penjualan-nya kita serahkan kepada Unit Pemasaran. Kita cuma punya pabriknya saja," tegas Dirut Pertagas.

Pertamina menugaskan Divisi Gas Domestik untuk memasarkan LPG. Termasuk mendukung program konversi minyak tanah ke LPG yang sekarang sedang digenjot keras oleh Pemerintah. Sementara itu pemanfaatan gas alam untuk ekspor, melalui PT Badak dan PT Arun Pertamina bergerak untuk menjual gas dalam bentuk LNG ke konsumen tradisional Jepang, Korsel, dan Taiwan, dan belakangan ke China. Apakah nanti penjualan gas alam dalam bentuk LNG ke berbagai negeri akan ditangani satu anak perusahaan sendiri,wallahu a'lam. Kalaupun Pertagas sekarang ini sedang membangunLNG Receiving Terminal bekerja sama dengan Kogas, adalah untuk menunjang stok suplai gas alam Pertagas untuk konsumen baru di luar konsumen eksisting saat ini.

Gas yang dialirkan melalui pipa Pertamina ke konsumen kalangan industri baik berasal dari Pertamina EP, Pertamina Hulu Energi, Pertamina EP Cepu, serta anak perusahaan atau perusahaan patungan lain yang bergerak dalam bidang eksplorasi, eksploitasi, dan produksi migas.

Dari sisi sumber penyuplai, Pertamina bukan satu-satunya pemain. Banyak KKKS baik perusahaan swasta nasional maupun perusahaan asing yang bekerja di ladang-ladang migas di Indonesia. Sedangkan untuk transporter dan trader, ada PGN. Dan dalam membangun jaringan pipa, Pertagas masih harus bersaing dengan grup Bakrie, PGN, dan Rekayasa Industri. Fakta sekarang, jaringan pipa di Sumatera, Batam, hingga Singapura telah dikuasai PGN. Sedangkan di Jawa, Pertagas yang memegang. Untuk wilayah Kalimantan masih belum ada jaringan yang dibangun.

Pemanfaatan gas alam memang belum sekencang pemakaian minyak bumi. Tetapi trend pola pemakaian di dunia pun menunjukkan pro energi alternatif. Termasuk di Indonesia. Dalam ensiklopedi di media cyber, Wikipedia, digambarkan Indonesia adalah salah satu negeri terkemuka dalam hal kepemilikan cadangan gas alam. Setelah Rusia, dengan cadangan gas sebesar 1,680 satuan triliun kaki persegi (trillion cu ft disusul berturut-turut Iran (971), Qatar (911), Arab Saudi (241), Uni Emirat Arab (214), Amerika Serikat (193), Nigeria (185), Aljazair (161), Venezuela (151), Irak (112), Indonesi (98), Norwegia (84), Malaysia (75), Turkmenistan (71), Uzbekistan (66), Kazakhtan (65), Belanda (62), Mesir (59), Kanada (57), Kuwait (56).

Itulah daftar 20 besar negara dengan cadangan gas terbesar, total 5,510 trilion cu ft. Indonesa berada di urutan ke-8. Di luar ke-20 negara itu ada 602 trilion cu ft. Kemudian kalau kita lihat lagi dalam daftar 15 ladang gas terbesar, lapangan gas Tangguh angguh angguh, Papua, menempati urutan ke-9. Alhasil, Indonesia memiliki ladang besar dalam peta bisnis gas dunia. Tetapi angka itu terkoreksi angka dari BP Migas yang notabene sebagai lembaga yang lebih mengetahui kondisi migas di Indonesia, Tahun 2006 saja, cadangan gas di Indonesia
menurut BP Migas, telah diketahui sebanyak 197 tcf.

Jadi, betulkah, masih di posisi ke-8? Atau posisinya malah lebih baik lagi?

Tetapi terlepas dari perbedaan angka, bisnis gas alam dengan segala macam bentuk pemanfaatannya adalah peluang bagi Pertamina. Peluang di dalam negeri ataupun di luar negeri. Apakah cukup satu anak perusahaan untuk mengurus lahan bisnis sebesar gas? Bisnis gas memang perlu digas.

Tidak ada komentar: