Sabtu, 23 Juni 2007

BBM, Energi Alternatif Dan Transportasi

Kelangkaan BBM dan tingginya harga minyak bumi, mendorong lagi kita ramai-ramai membicarakan mengenai alternatif energi, khususnya untuk kendaraan bermotor. Sampai-sampai presiden SBY pun menantang para ilmuwan dan peneliti. Janganlah semangat mencari energi alternatif ini nanti berhenti lagi kalau harga minyak bumi menurun dibawah 40 dollar per barrel. Dan kemudian dokumennya hilang tidak tahu kemana.

Di tahun 1980-an, kita pernah menggelar secara intensif dan extensif program bahan bakar alternatif ini. Tapi kemudian tidak berkembang terus dengan menurunnya harga minyak bumi dan pergantian pejabat. Proyek gasohol, bensin dengan campuran 10% ethanol, telah tuntas dikaji dan diuji, bersama dengan produsen kendaraan bermotor. Lembaga penelitian dan pilot plant pembuatan ethanol khusunya dari pati singkong di Lampung, telah selesai dan beroperasi. Tapi kemudian program ini juga tidak berkembang.

Pada waktu yang sama proyek pemakaian CNG untuk kendaraan bermotor juga diluncurkan. Guberbur DKI Jakarta telah menetapkan bahwa semua taksi baru harus memanfaatkan CNG. Pertamina menunjuk 16 buah SPBU di Jabotabek untuk mendistrubusikan CNG. Kemudian perusahaan produsen bis diharuskan mengembangkan bis (khususnya bis kota) dengan menggunakan mesin yang memanfaatkan CNG. Sayangnya kemudian pada tahun 1995 Menteri Pertambangan pada waktu itu mengijinkan juga pemanfaatan LPG. Proyek jadi tidak jelas.

Desakan produsen mobil yang memakai mesin solar, menyebabkan Gubernur DKI kemudian mengijinkan juga taksi memakai mesin solar (mesin solar tidak bisa dikonversi untuk memakai CNG). Saat ini tidak jelas lagi bagaimana perkembangannya. Seandainya kita konsisten sejak waktu itu, dan diberlakukan luas diseluruh Indonesia, mungkin krisis BBM dan polusi udara dikota besar yang sekarang ini bisa diatasi lebih baik.

Sekarang kita mulai lagi program serupa, alternatif energi. Kita harus sadari bahwa peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi dicapai sebagai hasil kumulatif dari berbagai kegiatan sebelumnya. Jadi kalau terjadi disruptive technological development seperti yang kita alami, maka perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini akan terhambat. Kita harus memulai dari nol lagi. Teknologi mesin penggerak untuk angkutan darat khususnya mobil dan kapal laut saat ini masih didominasi oleh mesin piston/torak (mesin Otto). Berbagai upaya alternatif mesin dengan energi yang lain, seperti mobil listrik, hybrid, dan hydrogen, belum mencapai tingkat keekonomiannya. Penggunaan mesin turbin dan jet dikapal laut masih terbatas dikapal-kapal perang.

Penelitian akan pemakaian mesin jenis lain masih didominasi oleh negara-negara industri maju. Karena industrinya juga dikuasai oleh mereka, jadi kita hanya bisa menjadi follower. Saat ini perlu digalakkan pemakaian CNG untuk kendaraan umum (taksi/mikrolet), terutama dimulai dikota-kota besar. Kebijakan ini harus merupakan program terintegrasi dengan penyediaan convertion kit yang mudah dan murah (dibebaskan dari bea masuk dan PPN), pembangunan SPBU untuk CNG. Sedang bagi kendaraan pribadi diberikan pilihan untuk memakai BBM, solar, CNG, biodiesel, atau gasohol (10% ethanol). Dorongan untuk memakai CNG dapat dilakukan melalui kebijakan harga dan penerapan uji emisi yang ketat. Sedangkan alternatif pemakaian bio-diesel dan gasohol, dapat dilaksanakan dengan menerapkan insentif pajak, yang berarti harga yang kompetitif.

Sedangkan untuk bis kota ada beberapa teknologi yang dapat dipertimbangkan, yang dikaitkan juga dengan pengurangan polusi udara diperkotaan.
1) Pemakain CNG seperti halnya taksi, hal ini hanya dapat diberlakukan pada kendaraan baru.
2) Pemakaian bio-diesel yang dapat segera dilakukan. Tergantung dari sejauh mana produksi bio-diesel dapat mencukupinya. Siapa yang akan mendistribusikannya? Apa Pertamina tetap memonopoli?
3) Trolley bus yang memanfaatkan bis dengan tenaga listrik (mirip dengan KRL atau trem listrik).
Misalnya di DKI Jakarta, bisa segera diterapkan pada proyek busway (pernah tercetus untuk diterapkan CNG pada busway tahap II). Mudah-mudahan gubernur DKI ngotot mengenai keharusan pemakaian CNG ini.
Lain halnya dengan kereta api. Perkembangan teknologi kereta api sekarang ini telah menggunakan tenaga listrik. Pemanfaatan kereta api ataupun lokomotif listrik telah menyebar luas. Kereta api cepat di Eropa, Jepang, dan negara-negara lain sudah lama memanfaatkan teknologi ini. Malahan teknologi modern seperti maglev (magnetic elevated) sudah mulai dimanfaatkan di Cina dan Korea. Pernah juga teknologi maglev ini didiskusikan untuk proyek Monorail di Jakarta. Untuk mengurangi ketergantungan akan BBM ini (hampir semua lokomotif di Indonesia memakai mesin diesel), pemerintah perlu mempunyai strategi yang tepat. Jangan hanya terpaku pada pembangunan rel ganda. Tetapi mempercepat elektrifikasi kereta api. Misalnya perencanaan perkereta apian di Sumatera Selatan, sebagai lumbung energi, sudah harus mengarah ke elektrifikasi kereta api. Sungguh ironis, misalnya, angkutan batubara di Sumatera Selatan mempergunakan lokomotif diesel.

Dengan pemikiran pemakaian BBM secara hemat dan penguasaan teknologi, maka pemerintah harus mencipakan kebijakan dan strateginya yang jelas. Dan harus dipertahankan untuk jangka waktu yang panjang. Kebijakan ini harus disusun bersama, dengan mengikut sertakan semua stakeholder.

Oleh: Rahardi Ramelan
Guru Besar Fakultas Teknologi Industri ITS, Surabaya

Tidak ada komentar: