Sabtu, 23 Juni 2007

Energi Alternatif Untuk Kesejahteraan?

Apa yang Anda lakukan di pagi hari? Menemani sarapan pagi dengan televisi, mengerjakan tugas-tugas menggunakan komputer, atau membaca koran diiringi radio dan lampu yang menyala? Apapun pilihan Anda, ketiga aktivitas tersebut sama-sama mengkonsumsi listrik, dan memang, berbicara mengenai energi, pada akhirnya juga akan menyinggung permasalahan budaya. Hal ini terungkap dari keynote speeker yang disampaikan oleh Dr. Evita H. Legowo menggantikan Menteri Energi & Sumber Daya Mineral ketika membahas ketahanan nasional dalam seminar Energi Alternatif untuk Kesejahteraan Rakyat(05/08) di Aula Barat ITB.

Salah satu contoh bagaimana budaya berpengaruh pada ketahanan nasional, khususnya energi adalah kasus pengalihan minyak tanah menjadi bahan bakar gas. Adanya perubahan kebiasaan ini menyebabkan banyak kompor-kompor gas yang diberikan oleh pemerintah hanya teronggok dengan masih terbungkus rapih. Padahal subsidi pemerintah untuk minyak tanah yang mencapai Rp. 4000/liter telah dialihkan untuk mendukung program penggunaan kerosin. Eratnya kaitan antara energi dan budaya juga tercermin dari gaya hidup masyarakat dalam mengkonsumsi energi. Menurut Evita, angka pertumbuhan energi tergolong tinggi, yaitu mencapai 7,1% per tahun.

Kebutuhan energi yang tinggi, serta masih banyaknya daerah-daerah yang belum mendapatkan energi listrik—sekitar 40% di daerah Jawa dan Bali, menunjukan angka pertumbuhan tersebut masih mungkin untuk bertambah. Di sisi lain, untuk memperoleh energi juga dibutuhkan energi yang memakan biaya tak sedikit atau bahkan dengan impor. Kebutuhan untuk impor terlihat dari kapasitas produksi kilang BBM dalam negeri tidak bertambah dalam satu dekade terakhir, sedangkan permintaan terus meningkat. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi net oil importir country, seperti yang tampak pada tahun 2005, yaitu impor minyak bumi untuk kebutuhan bahan baku kilang BBM mencapai 40%, dan impor BBM untuk pemakaian dalam negeri mencapai 32%. Besarnya angka impor ini berimplikasi pada besarnya APBN yang dialokasikan untuk sektor energi, khususnya BBM. Pada Juni 2006 misalnya, harga minyak mencapai US$74 per barel, sementara asumsi harga minyak dalam APBN hanya US$57.

Salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan terhadap harga minyak dunia yang berimplikasi pada APBN dan stabilitas perekonomian negara, adalah dengan mengurangi konsumsi BBM dan beralih ke sumber energi lain. Untuk mendukung pengembangan BBN pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM). Selain peran pemerintah sebagai regulator dalam pengembangan energi alternatif, peran para pemangku kepentingan yang lain dituangkan dalam UU No. 30/2007 tentang Energi, yaitu kewajiban pemerintah dan pemerintah untuk menyediakan energi baru dan energi terbarukan sebagai bagian dari diversifikasi energi, serta tanggung jawab semua pihak untuk melakukan konservasi energi.

Dari UU No.30/2007 tersebut, pengembangan energi alternatif mengaitkan berbagai pihak. Adanya beragam pihak yang harus terlibat agar pengembangan energi alternatif dapat berjalan menyebabkan relasi menjadi penting. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Suhono Harso Supangkat dalam sambutannya selaku kepala Inkubator Industri dan Bisnis(IIB)—dulu Pusat Inkubator Bisnis, ia mengharapkan seminar yang diselenggarakan oleh IIB agar menjadi sarana untuk menghubungkan para pemangku kepentingan pengembang energi alternatif. Hal senada diungkapkan oleh Prof. Dr. Adang Surahman, yaitu agar seminar ini dapat membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya energi alternatif, mendorong pemerintah daerah untuk menyediakan energi alternatif, serta menjalin kerja sama antara IIB, pemerintah daerah dan industri. Untuk mendukung tujuan tersebut, seminar sehari ini memang cukup padat. Tiga sesi, dengan jumlah pembicara mencapai 12 orang dan tema mencakup perkembangan teknologi penyediaan energi alternatif, potensi penerapan energi alternatif di masyarakat dan industri, dan sesi terakhir mengenai pembiayaan energi alternatif untuk masyarakat dan industri.

Pada sesi I, Saryono dari Departemen ESDM, Parno Isworo Direktur Keuangan PT PLN, Bambang Isti Eddi Direktur Niaga PT Indonesia Power, Willy Adriansyah dari laboratorium termodinamika ITB serta Tirto Prakoso peneliti energi alternatif serta dosen teknik Kimia ITB menguraikan paparannya mengenai energi-energi alternatif yang kini tengah dikembangkan. Saryono menguraikan program pengalihan minyak tanah ke LPG dalam rangka pengurangan subsidi BBM 2007-2012. Selain gas, diversifikasi energi juga dilakukan dengan mengembangkan geothermal, hydro, angin, serta biomassa. Dari sesi tanya jawab, terungkap masalah insentif masih menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan energi alternatif melewati ambang batas(critical mass) untuk dapat bertahan.

Sebagai ilustrasi, sesi II menyajikan para praktisi yang telah bergelut dengan energi alternatif. Hadir sebagai pembicara Dr. Wilson W. Wenas yang mengembangkan listrik tenaga surya. Keunggulan dari tenaga surya adalah tidak membutuhkan jaringan transmisi, membangkitkan listrik langsung di tempat dan dalam bentuk modular, bebas polusi udara dan suara, dapat membangkitkan listrik di mana saja asalkan ada sinar matahari. Salah satu hambatan dari pengembangan listrik tenaga surya ini terletak pada belum adanya insentif dari pemerintah yang mendukung. Wilson memberi contoh, saat Jepang pertama kali mengembangkan solar sel, pemerintah memberi subsidi 50% sehingga memancing investor lain untuk turut mengembangkan.

Selain Wilson, Ir. Kusetiadi Raharjo dari PT Heksa Prakarsa menyampaikan potensi penerapan mikrohidro di masyarakat. Dari pemaparannya, Kusetiadi membandingkan biaya investasi per kW yang harus dikeluarkan untuk mikrohidro terhadap energi terbarukan lainnya. Dalam matriks tersebut, biaya investasi untuk peralatan mikrohidro paling murah dibandingkan tenaga surya, tenaga angin, dan biomassa. Sebagai usaha yang tergolong kecil menengah, Kusetiadi mengungkapkan permasalahan klasik yang dihadapi adalah sosialisasi produk, pembinaan SDM, keterbatasan perkakas, dan keterbatasan dana.

Andrias Wiji SP mengisahkan pengalamannya dalam mengembangkan biogas dengan sumber kotoran ternak. Di latarbelakangi dari niatnya untuk menciptakan teknologi yang dapat diterapkan di masyarakat, pria lulus Teknik Kimia ini mengembangkan usaha yang dapat mengurangi dampak buruk dari limbah biomassa jika tidak ditangani dengan baik, serta mengurangi ketergantungan terhadap BBM. Untuk mewujudkan niatnya tersebut, pada tahun 2003 Andrias bergabung dengan PIB. Setahun kemudian, ia bersama keempat temannya mulai mendesain reaktor biogas dengan bahan dasar plastik, reaktor tersebut dijual dengan harga Rp. 750.000. Pada tahun pertama, reaktor tersebut hanya laku 30 buah. Tantangan lain adalah teman-temannya memilih untuk masuk dalam dunia industri. Namun tantangan tersebut tak membuat Andrias surut. Perlahan reaktornya mulai berkembang, serta pasarnya pun meluas dari promosi mulut ke mulut.

Permasalahan promosi sebagaimana yang diungkapkan oleh Kusetiadi, dan tidak adanya biaya promosi yang dilakukan oleh Andrias juga diungkapkan oleh Sigit Wiriatmo. Direktur PT. Nuansa Cipta Kreasi yang bergerak dalam pembangkit listrik tenaga angin ini berharap dari seminar ini, ia dapat memperoleh pesanan, dan mendapat bantuan teknologi dari IIB.

Pada sesi III, Laksmi Dewanti perwakilan dari Kementrian Lingkungan Hidup urusan insentif dan pendanaan lingkungan, Harijanti M. Kadri perwakilan dari bagian Corporate Social Responsibility PT. Indonesia Power, dan perwakilan dari Ecosecuritas menyampaikan peluang-peluang pengajuan dana serta usaha-usaha yang sudah dilakukan dalam mengembangkan energi alternatif.

Seminar sehari yang berlangsung padat serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan ini ditutup oleh Ahdiar, wakil Inkubator Industri dan Bisnis. Ia mengucapkan terima kasih atas semua pihak yang terlibat dalam seminar ini. Acara yang berlangsung hingga sore ini menyisakan banyak harapan, khususnya yang terkait potensi energi yang ada di Indonesia. Langkah selanjutnya adalah menjadikan potensi tersebut tak hanya guratan angka di atas kertas, tapi nyata bagi kesejahteraan bangsa

Tidak ada komentar: